Gaya bicaranya yang tenang dan selalu menebar senyum menjadikan pria ini selalu “menyatu” dengan siapapun yang diajak bicara. Bankir muda ini sadar betul, bahwa memainkan bisnis keuangan harus bisa tampil menyenangkan setiap orang. Itulah sekilas gambaran sosok Siswanto Akwan, Direktur Utama sekaligus pemegang saham Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Gunung Rizki di Semarang, Jawa Tengah.
Layaknya BPR lainnya, perusahaan yang Siswanto kelola ini memfokuskan diri pada pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Berkat keuletan Siswanto dan tim, aset BPR-nya terus berkembang dan hingga kini sudah mencapai Rp 350 miliar. Pantas jika BPR Gunung Rizki merupakan salah satu BPR yang terbesar di Semarang dan Jawa Tengah. Selama tiga tahun berturut-turut BPR ini juga mendapat penghargaan sebagai salah satu BPR terbaik se-Indonesia versi Majalah InfoBank.
“Tapi bagi saya, hal yang paling saya syukuri adalah terus meningkatnya kepercayaan masyarakat pada BPR Gunung Rizki, yang terbukti dari peningkatan konsisten dalam jumlah nasabah, dana yang dihimpun dan disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit, dan lain-lain,” tutur Siswanto kepada The Business Coach.
Kesuksesan yang diraih pria berabut lurus ini bukan serta-merta, melainkan melalui sebuah proses cukup panjang. Usai menyelesaikan kuliah di bidang keuangan di Amerika, ia kembali ke Indonesia pada tahun 1994. Kemudian ia bekerja pada sebuah bank asing di Semarang, sekitar empat tahun. Walau karirnya di sana melesat, Siswanto akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dan mulai merintis BPR Gunung Rizki bersama beberapa orang kakaknya. “Kami memulainya pada tahun 2000,” katanya.
|
Meski sudah mengantongi jam terbang cukup di perbankan umum, bukan berarti bisnis yang dirintisya itu mulus-mulus saja. Sebagai pebisnis, ia juga pernah mengalami jatuh-bangun. Masa yang paling berat adalah di tahun-tahun awal, di mana BPR ini belum dikenal dan dipercaya oleh masyarakat seperti sekarang. Padahal bagi sebuah bank, kepercayaan adalah modal yang sangat vital untuk tumbuh dan berkembang.
Siswanto mengisahkan, di masa itu bahkan beberapa teman dekatnya masih ragu untuk menempatkan dana di BPR yang ia pimpin. Apalagi dunia perbankan Indonesia saat itu belum pulih dari krisis ekonomi. Tantangan lain di tahun-tahun awal adalah minimnya pengalaman dan pemahaman dirinya terhadap bisnis BPR dan UMKM. “Ini saya akui yang menyebabkan BPR yang saya pimpin masih melakukan kesalahan-kesalahan dasar yang mengharuskan kita harus terus berbenah dan belum bisa berkembang dengan cepat,” ujarnya.
Tadinya ia pikir mengelola BPR sama dengan mengelola bank umum. Ternyata tidak. Contoh yang sederhana, saat di bank umum, ia terbiasa memutuskan pemberian kredit melalui analisa yang mendalam dan memakan waktu antara 2-4 minggu. Apalagi nasabah yang ia tangani umumnya adalah nasabah korporasi. “Di BPR, saya harus mengambil keputusan kredit dalam waktu 2-3 hari, tanpa data-data yang lengkap. Hal ini awalnya sangat menyulitkan bagi saya,” tambahnya.
Perbedaan “kultur” perbankan inilah yang akhirnya membuat Siswanto dan para pemilik saham lainnya banyak melakukan introspeksi, belajar, dan membuka wawasan seluas-luasnya. Tapi ia bersyukur, meski dalam kondisi yang sulit, tak pernah merasa putus asa. Seberat apapun cobaan yang dihadapi, Siswanto tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa dirinya mampu mengatasinya.